Melihat Kembali Geliat Adopsi 5G di Indonesia

Agus Tri Haryanto – detikInet

Jakarta – Laporan terbaru Ericsson memprediksi bahwa di tahun 2024 jaringan 5G sudah akan menjangkau 40% wilayah dunia. Lantas bagaimana dengan geliat peralihan teknologi jaringan 5G di Indonesia saat ini?

Dalam beberapa bulan ini, tiga operator di Tanah Air telah menunjukkan kalau mereka siap menggelar 5G, meski saat ini masih dalam bentuk uji coba. 

Operator yang dimaksud adalah Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo. Telkomsel dan XL Axiata melakukan uji coba 5G hampir bersamaan, yakni sama-sama di bulan Agustus. Kendati begitu, tujuan dari pengujian jaringan kelima tersebut sasarannya beda satu sama lain.

Telkomsel

Telkomsel melakukan tes 5G untuk keperluan menyambut perhelatan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Tak hanya memamerkan mobil tanpa sopir ketika itu, melalui Telkomsel 5G Experience Center, Telkomsel menyediakan beragam teknologi canggih hasil dari dukungan 5G, seperti Live Streaming, Football 2020, Future Driving, Cycling Everywhere.

Untuk menjalankan layanan 5G, Telkomsel menggunakan spektrum 28 GHz, di mana dalam uji coba kecepatan internet tembus lebih dari 16 Gbps. Sementara dengan menggunakan teknologi 4G, kecepatan internetnya 300 Mbps. 

XL Axiata

Masih di bulan yang sama, tepatnya setelah uji coba 5G Telkomsel, XL pun menggelar uji coba layanan berbasis 5G dan Wireless Gigabit (WiGig). 

Berlokasi di sekitar Kota Tua Jakarta, teknologi 5G dan WiGig coba diterapkan XL pada sejumlah aktivitas pengelolaan lingkungan perkotaan.
Dalam uji coba yang dilakukan mencakup penerapan 5G pada pengelolaan sampah, pengelolaan taman, peliharaan kebersihan sungai, serta WiGig untuk kamera surveillance (CCTV) dan layanan Internet kecepatan tinggi melalui WiFi yang juga langsung bisa dinikmati secara gratis oleh pengunjung di sekitar area demo.

Dari sisi kecepatan, uji coba 5G yang dilakukan XL kala itu mampu melesat sampai 11 Gbps.

Indosat Ooredoo

Kemudian Indosat Ooredoo tak mau kalah dengan kedua operator sebelumnya. Meski terkesan telat, tetapi anak usaha Ooredo Group ini turut terjun menguji layanan 5G dengan cara berbeda.

Pada pengujian pekan lalu, Indosat Ooredoo melakukan dua demo yang memanfaatkan jaringan 5G, yaitu test bed untuk 5G dan 3D-AR (Augmented Reality).

Hasilnya, kecepatan test bed 5G tersebut mencapai 10 Gbps per UE (User Equipment) dari total 20 Gbps. Demo ini juga memiliki beam tracking sebagai salah satu kemampuan unggulan 5G yang memungkinkan kapasitas serta kinerja lebih tinggi. Selain itu, teknologi ini juga memungkinkan streaming video 4K ke UE melalui radio 5G.

Sementara itu, 3D-AR (Augmented Reality) menghadirkan pengalaman dan interaktivitas yang mendalam dengan objek virtual. Demo 3D-AR akan membawa pengguna melihat dan berinteraksi dengan objek virtual yang terlihat hidup, seperti anatomi manusia fotorealistik dan gambar 360 derajat dari planet Bumi.

Kominfo

Dalam sebuah kesempatan, Kominfo pernah mengatakan ada tiga pilihan frekuensi yang dapat digunakan untuk menggelar layanan 5G. Pilihan tersebut berdasarkan mengikuti kesepakatan dunia di bidang telekomunikasi.

“Di band 3,5 GHz, terus ada 2,6 GHz, dan 2,8 GHz. Kita mengikuti kesepakatan dunia, jadi band itu tidak bisa Indonesia menentukan sendiri, kalau begitu nanti spesial dan khususnya yang bisa biayanya mahal,” ujar Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo Ismail di Menara Merdeka, Jakarta.

Pun demikian, sampai saat ini Kominfo belum menentukan frekuensi mana yang dapat digunakan operator seluler dalam menggelar layanan 5G. Jadi, 5G mau dibawa ke mana, Kominfo?

Source : https://inet.detik.com/telecommunication/d-4321261/melihat-kembali-geliat-adopsi-5g-di-indonesia

Aplikasi Direktori Halal Local Siap Sambangi Australia Tahun Depan

DailySocial.id – oleh Marsya Nabila

Halal Local, aplikasi direktori halal asal Bandung, siap menyambangi pasar Australia dan Asia Pasifik tahun depan melalui kerja sama B2B dengan mitra di negara tujuan. Lewat perluasan tersebut, Halal Local akan menyediakan direktori halal di negara tujuan, baik berupa masjid maupun restoran untuk para pelancong.

CEO Halal Local M Senoyodha Brennaf menuturkan, dalam skema B2B ini perusahaan akan menyediakan API yang bisa diintegrasikan dengan platform milik mitra, sehingga para penggunanya bisa terhubung dengan database dari Halal Local saat ingin mencari destinasi halal.

“Halal Local akan ada di balik layar, bantu menyediakan konten untuk mitra, sehingga nanti turis bisa lebih mudah menentukan keputusan saat ingin mendapatkan itinerary halal yang bagus,” ujar Senoyodha, saat ditemui di Startcon 2018 bersama Kedutaan Besar Australia Jakarta dalam rangka Digital Indonesia Media Visit di Sydney, pekan lalu (1/12).

Untuk mendukung rencana ekspansi tersebut, Halal Local tengah menjajaki kerja sama strategis dengan pemain direktori halal dari New Zealand yang sudah 10 tahun menggeluti sektor yang sama. Diharapkan nantinya menghasilkan jaringan dan basis data yang kuat. Yodha memperkirakan proses ini bakal rampung pada Mei 2019 mendatang.

Halal Local sudah mendapat pendanaan eksternal sebanyak tiga kali dari angel investor, Bekraf, dan Kemenristekdikti. Bila ditotal jumlahnya sekitar 950 juta Rupiah.

Perusahaan masuk ke dalam enam besar untuk kompetisi pitching global Startcon 2018 untuk memperebutkan hadiah investasi sebanyak AUD 1 juta (sekitar 10 miliar Rupiah). Namun sayangnya Halal Local harus mengakui keunggulan dari startup Australia yakni Daitum yang bergerak di bidang kecerdasan buatan.

Himpun basis data dari berbagai pihak

Situs website dan aplikasi Halal Local / Halal Local

Konsep B2B ini dilakukan oleh Halal Local setiap kali ingin melakukan ekspansi ke luar negeri. Jepang menjadi negara pertama yang disambangi Halal Local.

Perusahaan menerapkan konsep bisnis kepada para mitranya yang bergerak di berbagai industri seperti agen travel, maskapai penerbangan, perhotelan, dan lainnya.

Selain Jepang, Halal Local juga sudah hadir di Singapura, Malaysia, dan beberapa negara di kawasan Asia dan Eropa lainnya.

Yodha, panggilan akrab dari Senoyodha, menuturkan konsep B2B lebih mudah untuk diterapkan dan memiliki pasar yang jelas, ketimbang harus memakai strategi B2C. Pasalnya, B2C berarti mendorong Halal Local untuk membuat transaksi di dalam aplikasi. Di sisi lain, pasar di segmen ini belum siap untuk menerima itu karena butuh unsur keamanan dan banyak konsumen yang masih ragu.

Next 2019 kita mau ke Australia dan 2020 mau ke Tokyo Olympic Games 2020.”

Dalam menyediakan basis data direktori halal, Yodha menjelaskan perusahaan melakukan pendataan dengan berbagai metode. Di antaranya ada yang didapat dari lembaga sejenis MUI (Majelis Ulama Indonesia), lembaga dewan masjid, dan komunitas. Selain itu data juga didapat dari pihak ketiga seperti pemain di sektor yang sama. Pengguna Halal Local dapat turut berpartisipasi memberikan masukan.

Halal Local telah merangkum lebih dari 50 ribu restoran halal dan 150 ribu masjid yang tersebar di 110 negara di seluruh dunia. Secara penetrasi, pengguna Halal Local terbanyak berada di Timur Tengah dan Uni Emirat Arab (26%), Indonesia (25%), Amerika Serikat dan Kanada (12,5%), Eropa (7,6%), Inggris (5%), Jepang dan Korea Selatan (1,3%), Australia (1,1%), dan negara lainnya (21,5%).

Pengembangan fitur

CTO Halal Local Nurma Larasati menambahkan, saat ini perusahaan sedang mengembangkan fitur stiker bertanda “certified halal” sebagai tambahan layanan untuk para mitra restoran yang sudah listing di Halal Local. Stiker ini dibuat berbeda-beda sesuai dengan tingkat halal yang diterapkan setiap manajemen restoran, ada yang semi-halalatau full-halal.

Yodha menjelaskan selain menandakan halal, stiker juga dilengkapi dengan kode QR yang dapat dipindai oleh pengguna saat ingin mencari tahu lebih lanjut informasi tentang restoran tersebut di situs Halal Local. Fitur ini sudah digulirkan sejak November 2018, di Bandung sekitar 2-3 restoran sudah memanfaatkannya, menyusul Jepang ada sekitar 4-5 restoran.

“Kan listing restoran di kita itu free, model bisnis kita itu freemium. Jadi setelah listing, kami tawari mereka lagi mau tidak pasang iklan. Nah salah satunya itu adalah stiker QR yang ditempelkan di depan toko mereka.”

Fitur stiker ini menurut Yodha akan lebih difokuskan ke bagian daerah yang memiliki popularitas Muslim yang minim, seperti Bali dan luar negeri, agar fungsinya lebih efektif.

Aplikasi Halal Local sudah diunduh 6 ribu kali sejak pertama kali hadir di April 2018.

Source : https://dailysocial.id/post/halal-local-sambangi-australia

Mengintip Strategi XL Kembangkan IoT untuk Industri 4.0

JAKARTA (IndoTelko) – PT XL Axiata Tbk (XL) mengaku serius mengembangkan Internet of Things (IoT) untuk mendukung pelaku usaha di Indonesia menyambut era revolusi Industri 4.0

Chief Enterprise dan SME XL Axiata, Kirill Mankovski menjelaskan Anak usaha Axiata ini menawarkan solusi IoT yang lengkap, mulai dari IoT Platform sampai solusi siap pakai misalnya “Fleet Management Services”, “Hajj Tracker”, dan juga beberapa solusi untuk agrikultur, manajemen bangunan, dan sebagainya

“Kita mengembangkan IoT dengan konsep berkelanjutan. Kita dengar kebutuhan di masyarakat, kehidupan sehari-hari, kita coba perbaiki, meningkatkan produktifitas dan kita tuangkan itu ke dalam prototype,” ungkapnya kepada IndoTelko, belum lama ini.

Ditambahkannya, XL tak hanya berhenti di prototype, tetapi juga mencoba memasarkan inovasi dan use case berbasis IoT kepada konsumen terutama untuk sektor Agribusiness, logistik, dan Smart building.

Menurutnya, IoT menjadi satu di antara pilar penting bagi pelaku bisnis di Indonesia dalam menghadapi era industri 4.0. 

“Kita percaya bahwa IoT tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu dukungan ekosistem yang kuat. Dalam hal ini dukungan pemerintah juga harus kuat. Konsep IoT kita selain berkelanjutan, juga mengembangkan ekosistem  dalam hal perangkat, penyedia jasa, platform, serta komunitas, dan  konsumen,” ulasnya.

Diungkapkannya, saat ini XL sudah punya trial untuk IoT di Wonogiri sejak 2017,  Flex IoT (Platform) diluncurkan Agustus 2018, Fleetech (Fleet Management), dan Hajj Tracker.

Aplikasi Hajj Tracker dibidik untuk orang yang pergi haji atau umroh yang akan memudahkan mengetahui posisi jemaah dan juga untuk kebutuhan emergency. 

Selain itu berbagai industri juga sudah menggunakan layanan XL, terutama di sektor perbankan atau pembayaran untuk  connect M2M, EDC, dan lainnya.

Ditambahkannya, XL percaya dalam mengembangkan IoT tergantung dari dukungan komunitas. “Seperti bulan September lalu, kita punya hackathon, dimana semua menggunakan FLEX IOT, ada 18 tim dari seluruh Indonesia yang ikut.  Ajang ini dimanfaatkan XL Axiata untuk mendapatkan ide-ide dan inovasi baru yang diharapkan akan menjadi sebuah terobosan baru yang nantinya akan bisa bermanfaat. Kita mengajak para developer untuk berkembang bersama dalam sebuah ekosistem,” katanya.

Diprediksinya, IoT menjadi bisnis yang menjanjikan dimana pendapatannya akan tumbuh 18% sampai 2021.  Belum lagi, ada prediksi di seluruh dunia bahwa jumlah device IoT akan lebih dari 20 miliar perangkat dimana artinya akan ada 3 device per orang nantinya.(sg)

Source : https://www.indotelko.com/kanal?c=bid&it=mengintip-xl-iot-4-0

Bisnis penyewaan menara telko masih menjanjikan

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Prospek bisnis menara telekomunikasi masih menjanjikan. Maklum, operator telekomunikasi terus ekspansi dalam meningkatkan kualitas jaringan dan memperluas jangkauan mereka.

Peluang ini tidak disia-siakan begitu saja oleh perusahaan penyewa menara atau base transceiver stations (BTS). Mereka berlomba-lomba investasi dalam pembangunan BTS hingga ke pelosok negeri, untuk menjaring pelanggan yang lebih banyak.

Di bisnis tower, pemain utamanya adalah PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dengan jumlah tower paling banyak. Menyusul PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, PT Solusi Tunas Pratama (SUPR), Dayamitra Telkom (Mitratel), dan Bali Tower (lihat tabel).

Helmy Yusman Santoso, Direktur PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk (TBIG), mengatakan, tahun ini bisnis menara masih akan mencatatkan kinerja positif. “Operator telekomunikasi masih berusaha meningkatkan kualitas jaringan dan coverge layanan mereka,” katanya kepada KONTAN, Jumat (19/1).

Sepanjang tahun 2018 ini, TBIG berencana membangun 1.000 tower baru dan 1.500 kolokasi untuk mendongkrak penambahan sebanyak 2.500 tenant. Terkait ekspansi ini, TBIG menggelontorkan anggaran Rp 2 triliun. Hingga September 2017 lalu, Tower Bersama sudah menggaet 2.700 tenant baru.

Helmy menjelaskan, di tahun 2018, perusahaan ini akan fokus mendirikan menara di beberapa daerah, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Kini, TBIG sudah memiliki 13.000-an unit BTS. Selain membangun menara sendiri, TBIG juga mengincar akuisisi dari menara milik perusahan lain. “Pilihan mengakuisisi tetap akan menjadi pertimbangan, apabila valuasinya menarik,” imbuh Helmy.

Setali tiga uang dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) menyiapkan sejumlah agenda ekspansi untuk menambah jumlah menara tahun ini. lewat anak usahanya Protelindo. Protelindo berencana menambah jumlah tower lewat akuisisi.

Saat ini, TOWR memiliki sekitar 15.000 unit BTS. Kabar yang beredar, TOWR mendekati sejumlah pemilik menara seperti anak usaha PT Nusantara Infrastructure Tbk dan PT Solusi Tunas Pratama Tbk. Namun, Adam Gifari, Wakil Direktur Utama TOWR, tidak bersedia mengonfirmasi kabar itu. Ia hanya menyatakan, TOWR siap mengakuisisi jika ada tawaran menarik. “Jika ada peluang, kami siap mengakuisisi,” ujarnya.

Pun dengan PT Visi Telekomunikasi Infrastruktur Tbk, lewat anak usaha PT Permata Karya Perdana optimistis bisa menguasai pangsa pasar di Indonesia untuk segmen menara mikro. “Belum banyak perusahaan sejenis yang menyasar segmen mikro,” ungkap Gilang Pramono Seto, Presiden Direktur PT Permata Karya Perdana kepada KONTAN, Sabtu (20/1).

Sampai saat ini, jumlah menara milik Permata Karya lebih dari 300 unit. Rencananya, perusahaan tersebut membangun 300 unit menara lagi hingga akhir tahun nanti.

Source : http://investasi.kontan.co.id/news/bisnis-penyewaan-menara-telko-masih-menjanjikan

Steve Jobs APPLE

Apple Computer

Selama akhir 1960-an, telah terjadi penyatuan berbagai macam arus budaya di San Francisco dan Silicon Valley. Pada saat itu, ada sebuah revolusi teknologi yang di awali dengan berkembangnya perusahaan kontraktor militer. Tak lama kemudian, perusahaan elektronik, produsen mikrocip, desainer permainan video, dan perusahaan computer juga terlihat dalam proses revolusi teknologi tersebut. Orang-orang yang masuk dalam kelompok subkultur peretas (hacker), para perekayasa peraangkat lunak,dan anak-anak warga San Francisco serta Silicon Valley, banyak yang merasa cocok dengan peraturan yang dibuat oleh HP. Mereka juga merasa tidak cocok dengan cara berpikir orang-orang di perusahaan HP yang berada di wilayah tersebut.

Pada saat itu, muncul sebuah kelompok yang berlagak sebagai akademisi. Mereka meneliti tentang efek LSD. Salah satu partisipan dalam penelitian mereka adalah Doug Engelbart yang berasal dari Augmentation Research Center di Palo Alto, yang kemudian membantu mengembangkan tetikus computer dan penggunaan antarmuka grafis. Partisipan yang lain nya adalah Ken Kesey. Dia menggunakan obat terlarang itu dengan diiringi pertunjukan music serta tata cahaya lampu yang menampilkan Grateful Dead, grup music setempat. Selain itu,muncul pula gerakan kelompok hippie, yang terbentuk dari para generasi muda di Bay Area, dan aktivitas politik pemberontakan, yang lahir dari komunitas Gerakan Bebas Berbicara di Berkeley. Di samping kemunculan para kelompok pemberontak bertujuan untuk mencari jalan menuju pencerahan diri. Gerakan pemuasan terhadap meditasi dan yoga, terapi lain muncul dalam bentuk ajaran Zen dan Hindu, medisi dan yoga, terapi menjerit kuno dan kehilangan sensoris, serta Lembaga Esalen dan Organisasi est.

Dia bermeditasi di pagi hari, meengikuti kelas fisika di kampus Standford, bekerja pada malam hari di Atari, dan saat tidur bermimpi mendirikan bisnisnya sendiri. “sesuatu sedang terjadi disini,”katanya, saat mengingatkan kembali zaman dan tempat itu.” Musik terbaik berasal dari sini—Grateful Dead, Jefferson Airplane, Joan Baez, Janis Joplin—dan begitu banyak sirkuit terpadu, serta benda seperti Whole Earth Catalog”.

Pada awalnya, para ahli teknologi dan ppengikut hippie tidak begitu rukun. Sebagian besar budaya pemberotak menganggap bahwa computer tidak menyenangkan, sama seperti Orwellian, yaitu provinsi tempat gedung Pertahanan Amerika Pentagon dan Pembangkit Tenaga Listrik berada. Dalam bukunya The Myth of the Machine, sejarawan Lewis Mumford memperingatkan bahwa komputer telah merampas kebebasan kita dan menghancurkan “nilai-nilai yang memperkaya hidup”. Peringatan di komputer pada saat itu “jangan dilipat, digulung, atau dipotong” menjadi kalimat ironis yang berasal dari sisa zaman anti-perang.

Kemudian, pada awal tahun 1970-an, terjadi perubahan cara berpikir. “komputer pun berubah, dari alat kendali birokrasi yang ditolak, menjadi lambang ekspresi dan kebebasan pribadi yang diterima,”  tulis John Markoff dalam studinya tentang pertemuan antara budaya pemberontak dan industri komputer, yang diberi judul What the Dormouse Said. Keadaan itu merupakan semangat khas yang berasal dari zaman tersebut. Perubahan itu kemudian dituangkan dalam puisi karya Richard Brautigan dengan judul All Whatched Over By Machines of Loving Grace pada 1967.

Kepopuleran teknologi pun semakin dipertegas ketika Timothy Leary mengumumkan bahwa komputer pribadi telah menjadi sebuah candu baru. Leary memperbaiki kalimat terkenal yang berbunyi” Jangan dilipat, digulung, atau di potong!”  dengan mengatakan, “Nyalakan, hidupkan, dan sambungkan.” Musisi Bono, yang nantinya menjadi teman Jobs, sering berdiskusi dengannya mengenai alasan  mereka menganut  budaya dan music pemberontak.